Tuesday, August 14, 2007
Banyak Kisah
Banyak Kisah


Ada banyak wajah, ada banyak pakeliran, ada banyak frame yang bisa mengisahkan setangkup ketaatan seorang hamba kepada Pencipta di kehidupan malam, pagi, pun siang. Ada kisah berbau wangi, ada kisah beronak duri, pun kisah beraroma sufi. Dalam sebuah pencarian atau dalam sebuah perjalanan ditengah pertemuan yang manis dengan Sang Tuhan. Anak manusia memang tak punya daya, yang bisa hanya menengadah meminta. Illah maha segala dan tak sedikitpun berpunya sahaya.


Satu wajah berkelebat lewat depan muka. Wajah yang selalu sama, khusuk ditengah malam sunyi yang berselimut dingin. Wajah itu berulang berkelebat saat langkah melewati sebuah bangunan nan cantik. Selembar bahkan dua lembar koran tak peduli dari terbitan mana, tak peduli berapa oplahnya, yang dia peduli, bisa untuk alas bersimpuh saat tengah malam menerkam. Setiap aku berkelebat atau dia yang seakan berkelebat, pemandangan yang sama yang ada. Selembar bahkan dua lembar koran dan setangkup tangan menengadah meminta dalam do'a. Teman setia disebelahnya lebih setia dengan nyenyak tidurnya pun berjuta impinya. Namun, wajah itu lebih setia dengan kecintaannya pada Tuhannya. Aroma malam saat itu wangi sekali...


Saat matahari masih malu menampakkan senyumnya, senyum tersungging pemuda separuh baya seraya menyapa. Tak lama, setelah terdengar panggilan suci, pemilik senyum itu membasuh pipi tempat bersemayamnya sang senyum pagi. Selembar bahkan dua lembar koran lalu digelarkannya. Pakeliran pagi dan pagelaran beruntai kalimat indah dimulai. Kalimat indah, senandung pujian teruntai dalam kosmos do'a. Beralas selembar bahkan dua lembar koran, akrab dengan petak-petak putih ubin keramik nan cantik. Petak-petak itu semua putih, seputih cintanya pada Tuhannya. Anak manusia mulai merayap dan bergelanyut membuka tirai sang pagi. Pakeliran pagi itu mempersilakan perjalanan beronak duri dimulai...


Siang membuai telanjang tergerai. Terik sengatan lidah yang mulai tak akrab lagi seperti pagi tadi. Frame seorang kawan setia tempat tertawa, tempat terbahak penuh canda, lebih memilih setia pada Tuhannya. Dia langkahkan kakinya menelusur kearah anak sungai. Diantara bebatuan kali kawan setia membasuh diri hingga suci. Selembar bahkan dua lembar koran digelarkannya diatas hitam batu kali. Dihadapkannya dan disujudkannya raga tak berharga pada Sang Kuasa. Dipanjatkannya dan dihaturkannya semua hajat dan pinta. Gemericik sungai beriring gemericik tasbih bergesek, seraya teruntai kalimat suci terjuntai. Kawan setia lebih cinta pada Tuhannya layaknya seorang wali yang sufi...


Dimanapun dan kapanpun, Tuhan senantiasa bersemayam. "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernyaā€¯ [Qaff : 16]

Labels:

posted by adhi @ 8/14/2007 06:57:00 PM  
2 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
About Me


Name: adhi
Home:
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Template by
Free Blogger Templates